
UMK News - Hari Raya Idul Adha, atau yang sering disebut Hari Raya Qurban, merupakan momen sakral bagi umat Islam di seluruh dunia. Lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, Idul Adha mengandung makna mendalam tentang pengorbanan, keimanan, dan introspeksi diri. Kisah Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan putranya, Nabi Ismail AS, atas perintah Allah, menjadi simbol kepatuhan dan keikhlasan. Namun, di balik kisah agung ini, ada pelajaran lain yang tak kalah penting: refleksi untuk “membunuh” sifat-sifat buruk dalam diri, seperti sifat Firaun dan Sengkuni.
Firaun: Simbol Kesombongan dan Kekuasaan
Firaun, dalam sejarah Islam dan Al-Qur’an, dikenal sebagai sosok yang angkuh, menuhankan diri sendiri, dan menindas kaum lemah. Ia adalah gambaran nyata dari sifat sombong, egois, dan merasa paling berkuasa. Dalam kehidupan sehari-hari, “sifat Firaun” ini bisa muncul dalam diri kita tanpa disadari. Misalnya, ketika kita merasa lebih baik dari orang lain, memandang rendah sesama, atau menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
Idul Adha mengajak kita untuk “menyembelih” sifat Firaun dalam diri. Sebagaimana Nabi Ibrahim rela melepaskan sesuatu yang paling dicintainya demi Allah, kita pun diajak untuk melepaskan ego, kesombongan, dan sifat merasa paling benar. Ini adalah bentuk kurban batiniah yang jauh lebih berat daripada menyembelih hewan, karena membutuhkan kejujuran dan keberanian untuk mengakui kelemahan diri.
Sengkuni: Simbol Kelicikan dan Pengkhianatan
Sengkuni, tokoh dalam wiracarita Mahabharata, dikenal sebagai sosok licik, penuh intrik, dan suka menghasut untuk memecah belah. Dalam konteks kehidupan, “sifat Sengkuni” tercermin dalam perilaku manipulatif, menyebarkan fitnah, atau mengadu domba orang lain demi keuntungan pribadi. Sifat ini sering kali muncul dalam bentuk iri hati, gossip, atau tindakan yang merusak keharmonisan hubungan sosial.
Momen Idul Adha menjadi panggilan untuk “membunuh” sifat Sengkuni dalam diri. Kita diajak untuk membersihkan hati dari niat buruk, kebohongan, dan segala bentuk kelicikan. Seperti hewan kurban yang disembelih, kita harus rela “menyembelih” sifat-sifat negatif ini agar hati menjadi bersih, tulus, dan penuh kasih sayang kepada sesama.
Kurban Batiniah: Jalan Menuju Kebaikan
Idul Adha tidak hanya tentang berbagi daging kurban kepada fakir miskin dan tetangga, tetapi juga tentang berbagi kebaikan melalui perubahan diri. Membunuh sifat Firaun dan Sengkuni dalam diri berarti melatih diri untuk rendah hati, jujur, dan peduli terhadap orang lain. Ini adalah kurban batiniah yang sejati, yang membutuhkan perjuangan melawan hawa nafsu dan keinginan duniawi.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Daging (kurban) dan darahnya itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sampai kepada-Nya” (QS. Al-Hajj: 37). Ayat ini mengingatkan kita bahwa esensi kurban bukan pada fisik semata, melainkan pada niat dan perubahan hati menuju ketakwaan.
Menyongsong Perubahan
Di tengah tantangan zaman yang penuh dengan persaingan, konflik, dan godaan, refleksi Idul Adha ini menjadi sangat relevan. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk introspeksi. Tanyakan pada diri sendiri: Adakah sifat Firaun yang tersembunyi dalam sikap kita? Adakah sifat Sengkuni yang tanpa sadar kita pelihara?
Dengan semangat Idul Adha, mari kita “sembelih” sifat-sifat buruk tersebut. Gantikan kesombongan dengan kerendahan hati, kelicikan dengan kejujuran, dan permusuhan dengan kasih sayang. Hanya dengan begitu, kita dapat benar-benar merayakan Idul Adha dengan hati yang suci dan jiwa yang ikhlas.
Selamat Hari Raya Idul Adha.Semoga kita semua mampu menjadi pribadi yang lebih baik, yang tidak hanya berkurban secara lahiriah, tetapi juga batiniah, demi mendekatkan diri kepada Allah dan menebar manfaat bagi sesama.